Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut Wikipedia, pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Menuangkan semua pemikiran guru dan atau orang tua kepada peserta didik, tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Bahkan, untuk setiap informasi dan atau pelajaran yang diberikan kepada anak, membuat anak tersebut menjadi lebih frustasi jika semua kehendak orang tua dan bahkan guru memaksa anak untuk mengingat semua yang telah dipelajari.
Adapun yang menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia, yaitu:
1. Keterbatasan Jumlah Guru Terampil
Guru merupakan salah satu faktor utama yang bisa membuat seorang anak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik. Masalah terjadi saat guru yang bertugas untuk mendidik anak-anak tidak terlatih dengan baik. Hal ini bisa menyebabkan anak-anak tidak bisa memiliki keterampilan dasar seperti matematika dan bahasa dengan baik. Hal di atas ditambah lagi dengan masalah pendidikan baru yaitu banyak negara atau daerah yang kekurangan tenaga pengajar.
Entah disadari atau tidak, masalah pendidikan di Indonesia adanya keterbatasan jumlah guru yang terampil. Umumnya, guru-guru terampil dan berkualitas tersebar di kawasan kota atau daerah yang notabenenya mudah di akses. Sedangkan daerah-daerah terpinggir dan terpencil, sulit sekali mendapatkan guru.
Memang ada banyak faktor hal ini terjadi. Dari banyak alasan, salah satunya masalah minat dari guru itu sendiri. lebih banyak guru yang memilih lokasi yang mudah diakses dari segi transformasi dan akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok mudah didapatkan.
Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja guru yang terpanggil hati untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses, sayangnya hanya 1:10 saja. Jumlahnya pun sangat kecil sekali. Sehingga wajar saja jika terjadi kesenjagan tenaga guru terampil di pelosok dan di kota.
Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik. Tidak heran jika regenerasi yang tinggal di pelosok, nyaris tidak terekspose atau muncul ke permukaan. Itu sebabnya, ini menjadi PR bagi pemerintah dalam upaya pemerataan tenaga pendidik terampil di pelosok, agar terjadi pemerataan.
2. Sarana dan Prasarana Tidak Memadai
Pendidikan harus dirasakan oleh sema kalangan, terlebih siswa baik yang ada di perkotaan maupun yang ada di pedesaan. Tidak dapat dipungkiri dari segi sarana dan prasarana memang kurang memadai. Terutama sekolah-sekolah yang ada di pedesaan, pinggiran dan sekolah yang ada di pelosok. Ini masalah yang klasik dan sudah tidak asing lagi memang.
Namun, seburuk-buruknya sarana dan prasarana yang ada di pinggiran kota dan desa, masih ada masalah pendidikan di Indonesia yang lebih parah. Kita tahu bahwa Indonesia Negara kepulauan yang memiliki banyak sekali pulau. Banyak daerah bagian yang tidak terakses seperti halnya di tempat kita tinggal saat ini.
Ruangan kelas adalah adalah salah satu sarana yang sangat mudah untuk ditemukan. Ketika kita pergi ke suatu daerah terlebih daerah terpencil, maka akan ditemkan beberapa sekolah yang kondisi fisik bangunan untuk dikatakan sebagai sekolah itu rusak, apalagi rusak parah. Kondisi ini yang menjadi pilu bagi kita semua terlebih bagi yang mengadakan kegiatan belajar mengajar.
Banyak generasi penerus yang tinggal di kepulauan, mereka tidak hanya terbatas pada sarana dan prasarana saja, tetapi terbatas dari banyak hal. Misalnya, harus melintasi pulau seberang setiap hari agar bisa masuk sekolah.
Hidup dengan keterbatasan koleksi buku karena tidak terakses dan tidak terjamah. Belum lagi masalah tidak ada jaringan listrik. Sehingga mereka harus menggunakan penerang tradisional. Padahal, sekarang sudah era globalisasi, bahkan dunia teknologi yang serba terhubung dengan dunia luar, tetapi masih ada daerah yang belum terjamah di tanah Air kita.
Sebenarnya dari masalah sarana dan prasarana tidak memadai ini saya ceritakan sebagai pembanding bagi pembaca. Sejelek-jeleknya prasarana yang sebagian putra-putri rasakan, selama masih ada akses listrik dan melek bahkan bisa mengangses internet dengan bebas, itu sudah lebih baik.
Memang ada kekurangan dari pihak pemerintah dalam melaksanakan peran pendidikan, tetapi apakah kita selamannya akan menyalahkan dan menuding? Alangkah baiknya tetap berjalan dan belajar dengan giat meski mengalami keterbatasan. Karena keterbatasan sebenarnya bukan sebagai alasan.
3. Minim Bahan Pembelajaran
Tidak dapat dipungkiri masalah pendidikan di Indonesia juga terbentur pada keterbatasan bahan ajar. Kurangnya keterbatasan bahan wajar menurut saya hal yang wajar, karena memang dari kesadaran akan literasi di Indonesia termasuk di urutan akhir.
Dari sudut perspektif lain, menurut saya bisa jadi bukan karena masalah minimnya bahan pembelajaran, tetapi masalah kurangnya kesadaran untuk membuat inisiatif mencari modul pembelajaran.
Lagi-lagi saya kurang setuju dengan masalah keterbatasan menjadi alasan. Mungkin banyak yang menyebutkan bahwa keterbatasan bahan pembelajaran tidak memadai. Padahal, sebenarnya kita bisa mencari sendiri. Tidak harus mengandalkan huluran bahan aja dari pemerintah, tetapi inisiatif untuk mencari.
Jika memang tidak ada bahan pembelajaran tidak tersedia, bagi seorang pendidik bisa saja belajar dari buku luar. Kemudian dari pesan buku tersebut di transformasikan ke peserta didik. Atau bisa membuat atau menciptakan bahan pembelajaran jika memang tidak ada.
Dengan cara-cara seperti ini lebih solutif daripada menyalahkan ataupun menuding. Setidaknya dengan cara ini menjadi upaya memberikan jalan keluar untuk kebutuhan diri sendiri dan memberikan ruang jalan bagi orang lain.
Bukan berarti saya pro dengan pemerintah. Hanya saja, sampai kapan kita menunggu pemerintah pendidikan. Menunggu belum tentu bertemu, tetapi dengan kita bergerak, meskipun hasilnya bukan gerakan besar, minimal memberi sedikit perubahan.
4. Mahalnya Dana Pendidikan
Tidak dapat dipungkiri, masalah pendidikan di Indonesia yang paling mendasar terletak pada masalah biaya pendidikan. Meskipun sudah digadang-gadang gratis, tetap saja ada bagian yang membayar. Ironisnya, banyak masyarakat miskin yang hanya membayar tidak seberapa bagi orang borju tetap menyulitkan.
Lagi-lagi di sini saya memiliki perspektif lain tentang masalah dana pendidikan. Masyarakat umum di tempat kita sudah terstereotipkan dan terdewakan dengan kata ‘lulusan dari mana?’ ‘lulus peringkat berapa?’ dan apapun itu yang menjadikan pendidikan itu adalah raja.
Tidak dapat dipungkiri, memang lewat pintu pendidikan mampu mengantarkan seseorang ke masa depan yang lebih baik. Bahkan cukup bermodal peringkat terbaik dan dari sekolah terbaik bisa menentukan nasib seseorang. Secara lahir memang pendidikan adalah modal dasar dan segala. Tetapi di liihat dari ilmu hakikat atau urgensi atau sejatinya keberhasilan seseorang TIDAK SELALU di tentukan dari tingkat pendidikan.
Stereotip masyarakat yang terlanjur beredar dan terlanjur terpatri memang sulit diubah. Nyatannya, banyak orang-orang hebat yang justru putus sekolah. Orang-orang yang awalnya dianggap bodoh dan nyleneh tidak berkesempatan kekolah, nyatanya memiliki garis hidup yang berbeda. secara hakikat pula, nilai, lulusan terbaik juga tidak akan menjadi jaminan bisa masuk. Malaikat pun tidak akan menanyakan “berapa peringkatmu?” malaikat juga tidak akan menanyakan “lulus di sekolah bergengsi atau tidak?”
Dari ulasan di atas seolah lembaga pendidikan menjadi tidak penting, hanya karena label dan stigma masyarakat. Padahal menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat manusia. Masalahnya lagi, banyak orang yang mengartikan menuntut ilmu selalu dalam bentuk pendidikan, padahal ada jalur non pendidikan.
Kembali lagi fokus ke masalah pendidikan di Indonesia terkait mahalnya dana pendidikan inilah yang menambah angka putus sekolah. Pertanyaannya adalah, akankah kita akan selalu menyalahkan dan menuntut pemerintah untuk menjamin masa depan generasi putus sekolah? Padahal ada banyak sekali jumlah.
Di sini, saya justru bukan menyorot dari kewajiban pemerintah, tetapi sikap masyarakat yang berlebihan melabeli mereka yang putus sekolah. Bisa saja, berkat putus sekolah, mereka tetap memiliki motivasi belajar. Seperti yang saya tekankan sebelumnya, belajar bisa dilakukan secara non pendidikan. Bisa belajr dengan alam, belajar dengan lingkungan sosial dan belajar dengan pengalaman yang justru memiliki kualitas pendewasaan dan kemandirian lebih baik.
5. Mutu Pendidikan Rendah
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia juga terletak pada mutu pendidikan yang rendah. Masih menyambung pembahasan di atas. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan bisa saja disebabkan oleh perspektif masyarakat secara umum. Dimana menuntut ilmu bukan sebagai kewajiban atau kesadaran diri yang merupakan bentuk kewajiban terhadap diri sendiri.
Yap, saya menyebut belajar sebagai kewajiban setiap masing-masing individu sebagai bekal hidup dan bekal untuk bertahan hidup dari rasa lapar. Sayangnya, belajar sebagai kewajiban kini bergeser mencari pangkat, gengsi dan mendapatkan gelar. Disinilah awal mula mutu pendidikan rendah.
Kok bisa? Karena tujuan yang dicapai menjadi berambigu. Banyak yang berbondong-bondong mengejar statistic atau pengakuan. Tidak mengejar esensi dari pembelajaran itu sendiri. Analagi versi saya, kita fokus mencari wadah ember yang bagus, lupa fokus untuk mengisi ember tersebut. Mutu pendidikan bisa tinggi jika fokusnya terletak pada isi ember, bukan pada bentuk ember. Bukankah begitu?
6. Minoritas Bagi Kelompok Difabel
Masalah pendidikan di Indonesia tidak banyak dijadikan sorotan adalah masalah pendidikan bagi kelompok difabel. Ternyata masih banyak kelompok difabel yang kesulitan dalam mencari sekolah inklusi. Itu berarti masih sedikit sekolah-sekolah inklusi bagi mereka. Satu sisi, sekolah inklusi secara tidak langsung juga mengkotak-kotakan dan semakin tereksklusi dari realitas sosial.
Kendala yang sering dihadapi bagi difabel ketika memutuskan sekolah umum, mereka terkendala dari pembangunan sekolah yang tidak ramah untuk di fable. Misalnya tidak ada jalan khusus difabel yang menggunakan sepatu roda atau pintu kurang representative bagi difabel. Belum lagi masalah buku-buku pelajaran yang dikemas dalam huruf braille.
Ada satu pengalaman menarik bagi saya, suatu ketika pernah mengajar di salah satu kelompok difabel yang memilih sekolah ditempat umum. Ternyata mereka harus belajar lebih keras daripada orang pada umumnya.
Sepulang sekolah, anak-anak lain bisa saja hanya bermain dan bersenang-senang, tetapi mereka tidak ada waktu bermain, karena mereka mengejar ketertinggalan. Karena keterbatasan mereka, mengharuskan mereka belajar lebih giat. Dari sini, sebenarnya dibutuhkan keseimbangan dalam proses belajar bagi kelompok difabel.
Belum lagi masalah tentang akses jalan, sarana kamar mandi di sekolah yang juga belum ramah dengan difabel. Padahal, segala sesuatunya harus dibangun sesuai standar difabel. Bukan karena mereka minoritas, bukan berarti mengambil hak mereka menikmati fasilitas umum. Setidaknya jika pembangunan dilakukan ramah difabel, orang umum pun bisa juga mengaksesnya.
Jika standar pembangunan di standarkan orang pada umumnya, maka difabel akan kesulitan mengakses. Sehingga mereka terkesan dikesampingkan. Padahal mereka sama-sama generasi penerus yang memiliki hak yang sama, memiliki peluang sukses yang sama dan memiliki hak bahagia.
Bukan karena minoritas, lantas semakin dipandang berbeda. Sebenarnya mereka kuat bahkan bisa saya sebut mereka lebih kuat. Mereka memang spesial, bukan spesial dalam konotasi negatif, tetapi benar-benar spesial dalam arti sebenarnya, karena sebenarnya memiliki kegigihan lebih besar.
Permasalahan-permasalahan diatas bisa diatasi dengan:
1. Meningkatkan jumlah guru terampil
Guru adalah faktor dominan di dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan program yang pernah diselenggarakan oleh H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D., atau dikenal sebagai pak Anies Baswedan yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, dimana beliau membuat suatu program SM-3T, yaitu program para lulusan S1 bidang pendidikan di sebar ke beberapa daerah di Indonesia untuk mengajar di daerah terpencil selama kurang lebih satu tahun, dan dilanjutkan degan Pendidikan Profesi Guru selama satu tahun pula. Dengan melanjutkan program ini maka bisa dipastikan pendidikan akan merata diseluruh daerah.
2. Anggaran Pendidikan Ditingkatkan
Maksudnya, pemerintah menambah anggaran pendidikan untuk sarana dan prasarana sekolah. Dengan adanya tambahan dana, maka para guru, siswa, terlebih masyarakat menjadi yakin bahwa pemerintah tidak menyepelehkan hal ini. Fasilitas pendidikan seperti sekolah sangat penting untuk diperhatikan agar tidak menjadi suatu kekhawatiran masyarakat akan kondisi fisik sekolah.
Demikianlah yang menjadi masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia beserta cara mengatasi permasalahan yang diharapkan bisa diterapkan demi memajukan kesejahteraan kita semua terlebih dalam dunia pendidikan.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Keterampilan
https://penerbitbukudeepublish.com/masalah-pendidikan-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar